Hey..hey... Lama sekali aku meliburkan diri dari dunia blogger! Ya, kemana lagi kalau bukan mudik.. Kepada semua pembaca 'setia' blog ini, kami sekeluarga mengucapkan: Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon maaf lahir dan batin.... Mohon maaf juga buat teman-teman yang telah mengisi SB namun belum sempat daku balas kunjungannya...
Dua puluh tiga September 2008 kami bertolak jam sore melalui kapal motor Jelatik Express ke Selat Panjang, Kabupaten Bengkalis. Perjalanan ini adalah perjalanan terlama berdasarkan urutan waktu, karena perkiraan sampai di tujuan jam 5 subuh besoknya. Bermalam di KM Jelatik ini sebenarnya lebih nyantai dibandingkan berpergian dengan mobil atau kendaraan kapal yang lain, dan disini tidak ada mengenal kelas VIP atau ekonomi. Semua mendapat tempat yang sama, dengan harga tiket untuk saat ini Rp. 80.000,-
Satu hal yang kurang menyenangkan di sini adalah WC-nya. Ya, sebagaimana WC yang tidak menyenangkan dari kapal motor bersama....
Sedikit melenceng dari perkiraan, kami sampai di Selat Panjang pukul 06.30 WIB, dan pada pukul 11 siang kami pindah kapal lagi untuk melanjutkan perjalanan ke Tanjung Pinang melalui kapal MV Dumai Express. Kapal berjenis fiber ini membawa kami sampai di Tanjung Pinang sekitar pukul 4 sore. Alhamdulillah gelombang cukup teduh, dan Dymsi sama sekali tidak rewel. Kami menginap di Hotel Wisma Riau. Rencana awal di Hotel Surya, hotel langganan kalau kami pulkam, karena disini murah meriah dan nyaman. Tapi di saat mudik begini pada penuh kamarnya.
Oya., ini ada hasil jepretan Hubby Jembatan Siak di malam hari dari atas sungai. Konon pembangunan jembatan ini mengabiskan cukup banyak biaya dan jembatan ini jelas tidak sebanding dengan jembatan Leighton yang ada di Pekanbaru.
Keberangkatan ke Dabo tentu sama seperti para pemudik lainnya, berdesak-desakan untuk menuju kapal yang pada hari itu hanya satu yang berangkat ke tempat kelahiranku. Di Tanjung Pinang alias Pulau Bintan penumpang yang menunggu sudah sangat ramai, bukan cuma penumpang tujuan Dabo, tapi juga penumpang tujuan Batam, Tjg Balai Karimun, bahkan mungkin Malaka dan tempat-tempat lainnya. Di Tanjung Pinang ini pelabuhannya sangat strategis.
Tiga belas hari (nett) kami di kampung halamanku itu.
Tak banyak yang berubah, bahkan menurut Hubby, Dabo yang sekarang ya tetap sama saja dengan Dabo kurang lebih tiga tahun yang lalu, ketika kami melangsungkan pernikahan. Dalam Bulan Ramadhan itu kami sempat berjalan-jalan ke pantai biasa, bukan pantai pariwisata. Itu untuk mengobati kerinduanku pada pantai, sekaligus memperkenalkan pantai kepada Dymsi, anak kami.
Waktu ke pantai pertama kali sejak kedatangan kami itu, ombak lumayan bergejolak.Entah mengapa aku tidak menikmati keindahan itu 100%,karena tiba-tiba timbul sedikit rasa takut akan ombak yang menari lepas, dan melantunkan lagu alamnya.Terbayanglah tsunami, entah bagaimana perasaan jika tiba-tiba saja ombak itu menjadi lebih tinggi. Tapi tentu itu tidak ada dalam pemikiran Hubby & Dymsi, karena mereka asik bermain dengan ombak yang datang melambai pantai, menyentuh pasir lembutnya.
Semakin menjadi seorang ibu, aku merasakan diriku semakin menjadi orang yang penakut. Di satu sisi barangkali daku terlihat tegar, tapi disisi lain ada bermacam-macam ketakutan yang dulu hampir tidak pernah ada.
Dabo masih seperti Dabo yang dulu.
Pelabuhan ditengah kota yang tidak termanfaatkan oleh kapal yang berlabuh dari Tanjung Pinang. Setiap jam petang pelabuhan ini menjadi tempat jalan-jalan sore untuk melepas memandang laut atau tempat memancing bagi beberapa orang.
Jalan-jalan yang sepi, gedung-gedungnya juga tidak banyak berubah. Yang kelihatan bertambah adalah bendera-bendera berbagai macam partai dengan semboyannya masing-masing. Bahkan salah satu partai membuat tulisan di spanduknya menyesuaikan dengan bahasa melayu setempat: "Bersame Kite Bise". Aku membacanya di beberapa ruas jalan.
SMP Negeri 2 dan SMU Negeri 2, ex. sekolahku juga masih seperti itu. Oya ada gedung yang sedang di rombak di SMUN 2.
Pengamatanku yang lain selama di Dabo, adalah perihal makanan jajanan, seperti bakso, mie ayam, pangsit ataupun jajanan lain yang sejenis sangat kurang di sini. Misalnya bakso yang paling enak mungkin bakso ikan Mas Mangun yang mangkal di Sungai Lumpur. Tapi kalau bakso sapi, mie ayam, rasanya masih kalah telak. yang anehnya walaupun rasanya 'kurang' tapi yang makan di tempat tetap banyak, bahkan yang ingin membeli bawa pulang juga mengantri.Aneh.
Kemudian bahan makanan juga mahal walau Pulau Singkep ini dikelilingi oleh laut. Ikan rata-rata dua puluh ribuan yang paling murah untuk ukuran 1 kg. Ikan tenggiri 40rb/kg. Udang 40rb-50rb/kg. Kepiting 40rb/kg.Ayam ras 30rb/kg. Daging sapi apalagi, sebelum lebaran sudah mencapai 100rb/kg. Sama seperti dulu, daging sapi ini tidak setiap hari ada di pasar, nahkan sangat jarang sekali, karena pemotongan sapi hanya pada event-event tertentu saja. Makanya kalau ada yang berhajat memotong sapi (sekaligus menjual daging di pasar), biasanya berita itu sudah tersebar ke seluruh penjuru Dabo.
Idul Fitri kami sohalat Id di kompleks rumah, dengan jamaah yang tidak terlalu memadati Musholanya, bahkan bisa dibilang cukup lengang. Pulangnya kami bermaaf-maafan dan menerima tamu cilik. Kami lebih banyak di rumah, selain bersilahturahmi dengan tetangga.
Di Dabo Dymsi sering berebut mainan dengan Pini, ada ke-2 Bang Adek yang biasa disapa Angah. Sementara Riska sudah mulai dewasa pemikirannya dan Fahri alias Dek Ndo yang berumur 4 bulan sangat anteng sekali sehari-harinya.
Lebaran begini seperti biasanya Mommy mendapat rejeki order pesanan ketupat. Untuk tahun ini hanya sekitar 700 buah, tidak terlalu banyak dibandingkan dulu karena kondisi Mommy juga tidak se-fit dulu.
Waktu ke pantai pertama kali sejak kedatangan kami itu, ombak lumayan bergejolak.Entah mengapa aku tidak menikmati keindahan itu 100%,karena tiba-tiba timbul sedikit rasa takut akan ombak yang menari lepas, dan melantunkan lagu alamnya.Terbayanglah tsunami, entah bagaimana perasaan jika tiba-tiba saja ombak itu menjadi lebih tinggi. Tapi tentu itu tidak ada dalam pemikiran Hubby & Dymsi, karena mereka asik bermain dengan ombak yang datang melambai pantai, menyentuh pasir lembutnya.
Semakin menjadi seorang ibu, aku merasakan diriku semakin menjadi orang yang penakut. Di satu sisi barangkali daku terlihat tegar, tapi disisi lain ada bermacam-macam ketakutan yang dulu hampir tidak pernah ada.
Dabo masih seperti Dabo yang dulu.
Pelabuhan ditengah kota yang tidak termanfaatkan oleh kapal yang berlabuh dari Tanjung Pinang. Setiap jam petang pelabuhan ini menjadi tempat jalan-jalan sore untuk melepas memandang laut atau tempat memancing bagi beberapa orang.
Jalan-jalan yang sepi, gedung-gedungnya juga tidak banyak berubah. Yang kelihatan bertambah adalah bendera-bendera berbagai macam partai dengan semboyannya masing-masing. Bahkan salah satu partai membuat tulisan di spanduknya menyesuaikan dengan bahasa melayu setempat: "Bersame Kite Bise". Aku membacanya di beberapa ruas jalan.
SMP Negeri 2 dan SMU Negeri 2, ex. sekolahku juga masih seperti itu. Oya ada gedung yang sedang di rombak di SMUN 2.
Simpang 3 Balai
Masjid Azzulfa
Masjid Azzulfa
Ada 1 buah minimarket yang baru, Mega Glory. Mungkin hampir semua orang di Dabo senang berbelanja di sini.
Pengamatanku yang lain selama di Dabo, adalah perihal makanan jajanan, seperti bakso, mie ayam, pangsit ataupun jajanan lain yang sejenis sangat kurang di sini. Misalnya bakso yang paling enak mungkin bakso ikan Mas Mangun yang mangkal di Sungai Lumpur. Tapi kalau bakso sapi, mie ayam, rasanya masih kalah telak. yang anehnya walaupun rasanya 'kurang' tapi yang makan di tempat tetap banyak, bahkan yang ingin membeli bawa pulang juga mengantri.Aneh.
Kemudian bahan makanan juga mahal walau Pulau Singkep ini dikelilingi oleh laut. Ikan rata-rata dua puluh ribuan yang paling murah untuk ukuran 1 kg. Ikan tenggiri 40rb/kg. Udang 40rb-50rb/kg. Kepiting 40rb/kg.Ayam ras 30rb/kg. Daging sapi apalagi, sebelum lebaran sudah mencapai 100rb/kg. Sama seperti dulu, daging sapi ini tidak setiap hari ada di pasar, nahkan sangat jarang sekali, karena pemotongan sapi hanya pada event-event tertentu saja. Makanya kalau ada yang berhajat memotong sapi (sekaligus menjual daging di pasar), biasanya berita itu sudah tersebar ke seluruh penjuru Dabo.
Idul Fitri kami sohalat Id di kompleks rumah, dengan jamaah yang tidak terlalu memadati Musholanya, bahkan bisa dibilang cukup lengang. Pulangnya kami bermaaf-maafan dan menerima tamu cilik. Kami lebih banyak di rumah, selain bersilahturahmi dengan tetangga.
Di Dabo Dymsi sering berebut mainan dengan Pini, ada ke-2 Bang Adek yang biasa disapa Angah. Sementara Riska sudah mulai dewasa pemikirannya dan Fahri alias Dek Ndo yang berumur 4 bulan sangat anteng sekali sehari-harinya.
Lebaran begini seperti biasanya Mommy mendapat rejeki order pesanan ketupat. Untuk tahun ini hanya sekitar 700 buah, tidak terlalu banyak dibandingkan dulu karena kondisi Mommy juga tidak se-fit dulu.
Sehari sebelum pulang kami ziarah ke makam Bapak, nenek, Atuk, wong dan Mak Cik Halimah. Ada perasaan haru yang tumpah, terlebih pada pusara Wong dan Makcik, karena almarhumah masih ada terakhir kami pulang waktu akan menikah. Banyak kenangan yang tak terlukiskan.
2 comments:
Hi mba Dayank...
Asyik sekali baca cerita mudik dirimu.aku jadi tau Dabo soalnya dulu aku punya teman yg sering ceritain Dabo.Ohya Tg.pinang itu kampungku lho....
Pengen lihat aku berjilbab itu tuch photo2 Nayla ultah kan ada say...diriku pakai baju putih jilbab putih.....
Nuke-mamanayla dan syifa
# Mbak Nuke
Kalo gitu daku kemarin melewati kampung Mbak dong...
Oya, selamat ya Mbak udah mengenakan pakaian muslimahnya, semoga istiqomah..
Posting Komentar